Cerpen Terkenal Karya Asma Nadia. Biografi dan 5 contoh cerpen asma nadia mungkin sobat semua sudah banyak yang mengenal penulis dengan nama pena asma nadia. Gaya basanya aku suka, untuk cerpen yg ini,, hmm adakah sosok rafi lain buat saya? Membaca Cerpen Dari Kumpulan Cerpen Hati Yang Cemburu from Selanjutnya, ibu dari dua orang anak, yaitu salsabila dan adam putra ini aktif menulis cerpen, puisi, dan resensi di media sekolah. Jakob sumardjo, mewakili generasi senior, dan hawe setiawan, mewakili generasi yang lebih muda. Pembicaranya adalah dua orang kritikus yang tak asing lagi di jagat sastra kita Asmarani Rosalba Adalah Nama Asli Dari Asma Dari Segala Cerpen Karya Asma Nadia Posted On 15 Februari 2015 By Jendela Saya 0 Sinopsis Sekeping Cinta Dalam Diam Sekeping Cinta Yang Hanya Tersimpan Untuk Yang Sayu Segera Saja Menatap Keduanya Tak Itu Berlangsung Diskusi Buku Karya Andrea Novel Baru Oleh Pengarang Baru Yang Menggemparkan. Asmarani Rosalba Adalah Nama Asli Dari Asma Nadia. Daftar isi 1 kehidupan pribadi 2 karier 3 karya buku 4 referensi Catatan hati seorang istri menjadi salah satu novel bestseller karya asma nadia yang telah diangkat menjadi sebuah serial televisi. Kulihat aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Kumpulan Dari Segala Cerpen Islami. Kriiinnnggg! jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Setelah itu, asma nadia banyak melahirkan karya yang mendapat sambutan baik. Di sana kulihat aa tertidur dengan pulasnya. Cerpen Karya Asma Nadia Posted On 15 Februari 2015 By Jendela Saya 0 Sinopsis Sekeping Cinta Dalam Diam Sekeping Cinta Yang Hanya Tersimpan Untuk Seseorang. Konsen dari penulis serba bisa ini sebenarnya adalah menulis novel epik novel sejarah. Bahkan terus mencintai dia ketika dia bersama yang lain, dan yakin menunggunya. Gaya basanya aku suka, untuk cerpen yg ini,, hmm adakah sosok rafi lain buat saya? Matanya Yang Sayu Segera Saja Menatap Keduanya Tak Semangat. Aku mengenal karya asma nadia pas sma, sejak saat itu aku sudah jatuh cinta sama karya asma nadia. Kemahiran asma nadia dalam meracik kata terbukti dengan cerpen karyanya yang menjuarai lomba menulis cerpen islami tingkat nasional. Yang bahkan tanpa dia ketahui bahwa aku sangat bahagia bisa mencintainya. Waktu Itu Berlangsung Diskusi Buku Karya Andrea Novel Baru Oleh Pengarang Baru Yang Menggemparkan. Jakob sumardjo, mewakili generasi senior, dan hawe setiawan, mewakili generasi yang lebih muda. Rasa penasaran tinggi, ramah, tidak amanah, dan tidak sabaran. Dari wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas asmarani rosalba yang dikenal dengan nama pena asma nadia lahir 26 maret 1972 adalah seorang penulis novel dan cerpen indonesia.
Beberapanovel karya Asma Nadia yaitu : 101 Dating: Jo dan Kas (mendapatkan penghargaan Adikarya IKAPI) Jendela Rara; Jilbab Treveler: Love Sparks in Korea; Lentera Kehidupan Emak Ingin Naik Haji, dan Rumah Tanpa Jendela. Asma Nadia sempat diundang sebagai penulis tamu dalam acara Iowa International Writing Program yang diadakan olehSebuah rumah imut dengan dinding hijau berlumut, Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati Apa lagi? Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis. “Mak, kapan kita punya rumah?” Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga. “Mak, kapan kita punya rumah?” Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat—memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana. Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas. Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap… “ini rumah kita, Ra!” Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan tumah tinggal yang diimpikannya Sebuah rumah imut dengan dinding kehijauan berlumut, Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya. “Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!” “Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari? Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot? Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak kecil. Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah. “Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?” Rara menggoyang bahu Emanknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari. Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!” Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah. “Yang bener, Ra?” Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya. “Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!” Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar. “Bisa belajar di sana dong?” “Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?” Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang. “Aku mau minta ibuku bikin jendela juga, ah!” “Aku juga!” “Apa? Jendela di rumah Rara?” “Gue juga deh. Mau bilang Bapak!” “Enak ada jendela!” Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain. “Jendelaku nanti paling buesar!” Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah. —— “Jadi bikin jendela, Ra?” Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya. “Udah malam kok belum tidur?” Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi. “Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi. “Jendela? Kok gede banget!” Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah. “Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap. Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar using. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja. “Bang…” Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat. “Masih ngeributin soal jendela?” Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis. “Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.” “Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.” “Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki! Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!” Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya. “Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!” Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar. Rara tahu, tidak Cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang. Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum. “Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara. “Asih!” Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun. “Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara. Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu… “Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras. “Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu? “Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?” Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak. “Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…” “Dan itu mahal, tau, Ra!” “Ssst… Asih!” Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu menempeleng keduanya. Dan semua gara-gara jendela besar Rara. Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara. Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari. Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat. Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi. “Assalamu’alaikum! Emak?” Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang. “Mak, sini.” Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah. “Apaan sih, Ra?” Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap dan hilang dari ingatan. Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval. “Mak, tebak!” “Apaan?” Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas. Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat. “Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita! Papar gadis kecil itu ceriwis. Jendela? Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup. “Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, terus kaca, terus…” Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius. “Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!” Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar. Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangannya. Rumah kami, 2003 Sumber Buku Album Cerita Pilihan Asma Nadia Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci, Terbitan Asma Nadia Publishing House, hlm. 87-99, Cet. Pertama, Agustus 2009.
Bukan besarnya rumah atau luas halaman dari balik pagar rendah yang memesona Rara, melainkan jajaran pot-pot cantik yang ditaruh di depan jendela-jendela besar rumah tersebut. Belum pernah Rara melihat jendela sedemikian indah. Mulai hari itu, ia punya sesuatu untuk diimpikan. Bapak dan Ibu harus tahu. Rara adalah gadis yang periang dan suka bermain. Ia dan teman-temannya suka bermain di pinggir-pinggir jalan saat istirahat mengamen, di bawah derasnya hujan, juga di pekuburan tengah kota Jakarta yang menjadi lingkungan tempat tinggalnya. Sebagai gadis kecil, ia merasa tak kekurangan apa pun, apalagi orangtuanya tak pernah memarahinya seperti ibu-bapak teman-temannya. Tapi ada satu mimpi Rara yang inginsekali ia wujudkan. Sebuah mimpi sederhana, untuk memiliki jendela. Ia ingin sekali bisa tetap melihat hujan, dan tak harus menyalakan lampu ketika siang meski pintunya ditutup. Namun Rara tak tahu, keinginan sederhananya diam-diam membuat pusing orang-orang terdekatnya hingga gadis kecil itu harus membayar mahal agar mimpinya terwujud. TENTANG PENULIS Siapa yang tidak mengenal penulis terkenal Asma Nadia, nama asli dari Asma Nadia ialah Asmarani Rosalba. Asma nadia berkarir sebagai penulis, lahir pada tanggal 26 maret taun 1972 di Jakarta. Belaiu mulai tertarik pada tulis menulis saat pertama kali menciptakan lagu di sekolah dasar. Sejak saat itu ia mulkai aktif menulis cerpen, puisi, dan berbagai resensi di dunia media sekolah. Asma Nadia bersekolah di SMA 1 Budi Utomo dan melanjutkan kuliah di Intitut Pertanian Bogor Fakultas Teknologi Pertanian. Saat sedang sibuk dengan kuliahnya, Asma Nadia sakit sehingga mengharuskan dirinya untuk beristirahat dan tidak bisa menamatkan kuliahnya. Karya-karya Asma Nadia -Buku - Assalamualaikum, Beijing! - Salon Kepribadian - Derai Sunyi, novel yang mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara Mastera - Preh A Waiting, naskah drama dua bahasa yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta - Cinta Tak Pernah Menari, kumpulan cerpen yang meraih Pena Award - Rembulan di Mata Ibu 2001, novel yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional - Dialog Dua Layar, novel yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002 -101 Dating Jo dan Kas, novel yang meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005 - Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller. - Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci yang diadaptasi menjadi film Emak Ingin Naik Haji dan sinetron Emak Ijah Pengen ke Mekah - Jilbab Traveler - Muhasabah Cinta Seorang Istri - Catatan Hati Bunda - Jendela Rara telah diadaptasi menjadi film yang berjudul Rumah Tanpa Jendela - Catatan Hati Seorang Istri, karya nonfiksi yang diadaptasi menjadi sinetron Catatan Hati Seorang Istri yang ditayangkan RCTI - Serial Aisyah Putri yang diadaptasi menjadi sinetron Aisyah Putri The Series Jilbab In Love - Aisyah Putri Operasi Milenia - Aisyah Putri Chat On-Line! - Aisyah Putri Mr. Penyair - Aisyah Putri Teror Jelangkung Keren - Aisyah Putri Hidayah Buat Sang Bodyguard - Aisyah Putri My Pinky Moments -Karya yang ditulis bersama penulis lain - The Jilbab Traveler - Jangan Bercerai Bunda - Catatan Hati Ibunda - La Tahzan for Hijabers - Ketika Penulis Jatuh Cinta - Kisah Kasih dari Negeri Pengantin - Jilbab Pertamaku - Miss Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman - Jatuh Bangun Cintaku - Gara-gara Jilbabku - Galz Please Don’t Cry - The Real Dezperate Housewives - Ketika Aa Menikah Lagi - Karenamu Aku Cemburu - Catatan Hati di Setiap Sujudku - Badman Bidin - S-uparman Pulang Kampung - Pu-ra-Pura Ninja - Cat-atan Hati di Setiap Sujudku - Mengejar-ngejar Mimpi - Dikejar-kejar Mimpi - Gara-gara Indonesia - Diary Doa Aisyah Putri Tentang ASMA NADIA Siapa yang tidak mengenal penulis terkenal Asma Nadia, nama asli dari Asma Nadia ialah Asmarani Rosalba. Asma nadia berkarir sebagai penulis, lahir pada tanggal 26 maret taun 1972 di Jakarta. Belaiu mulai tertarik pada tulis menulis saat pertama kali menciptakan lagu di sekolah dasar. Sejak saat itu ia mulkai aktif menulis cerpen, puisi, dan berbagai resensi di dunia media sekolah. Asma Nadia bersekolah di SMA 1 Budi Utomo dan melanjutkan kuliah di Intitut Pertanian Bogor Fakultas Teknologi Pertanian. Saat sedang sibuk dengan kuliahnya, Asma Nadia sakit sehingga mengharuskan dirinya untuk beristirahat dan tidak bisa menamatkan kuliahnya. Karya-karya Asma Nadia -Buku - Assalamualaikum, Beijing! - Salon Kepribadian - Derai Sunyi, novel yang mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara Mastera - Preh A Waiting, naskah drama dua bahasa yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta - Cinta Tak Pernah Menari, kumpulan cerpen yang meraih Pena Award - Rembulan di Mata Ibu 2001, novel yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional - Dialog Dua Layar, novel yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002 -101 Dating Jo dan Kas, novel yang meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005 - Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller. - Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci yang diadaptasi menjadi film Emak Ingin Naik Haji dan sinetron Emak Ijah Pengen ke Mekah - Jilbab Traveler - Muhasabah Cinta Seorang Istri - Catatan Hati Bunda - Jendela Rara telah diadaptasi menjadi film yang berjudul Rumah Tanpa Jendela - Catatan Hati Seorang Istri, karya nonfiksi yang diadaptasi menjadi sinetron Catatan Hati Seorang Istri yang ditayangkan RCTI - Serial Aisyah Putri yang diadaptasi menjadi sinetron Aisyah Putri The Series Jilbab In Love - Aisyah Putri Operasi Milenia - Aisyah Putri Chat On-Line! - Aisyah Putri Mr. Penyair - Aisyah Putri Teror Jelangkung Keren - Aisyah Putri Hidayah Buat Sang Bodyguard - Aisyah Putri My Pinky Moments -Karya yang ditulis bersama penulis lain - The Jilbab Traveler - Jangan Bercerai Bunda - Catatan Hati Ibunda - La Tahzan for Hijabers - Ketika Penulis Jatuh Cinta - Kisah Kasih dari Negeri Pengantin - Jilbab Pertamaku - Miss Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman - Jatuh Bangun Cintaku - Gara-gara Jilbabku - Galz Please Don’t Cry - The Real Dezperate Housewives - Ketika Aa Menikah Lagi - Karenamu Aku Cemburu - Catatan Hati di Setiap Sujudku - Badman Bidin - S-uparman Pulang Kampung - Pu-ra-Pura Ninja - Cat-atan Hati di Setiap Sujudku - Mengejar-ngejar Mimpi - Dikejar-kejar Mimpi - Gara-gara Indonesia - Diary Doa Aisyah PutriKisahtersebut terdapat dalam buku antologi cerpen berjudul "Cinta Laki-Laki Biasa" yang ditulis oleh Asma Nadia, dkk. Kisah atau cerpen yang akan saya ulas di sini berjudul "30 Menit Cerpen Rumah Tanpa Jendela. Mbok, rara's ailing grandmother and her father, raga, do not have enough money to buy the window. Dikembangkan dari cerpen jendela rara karya asma nadia. Resensi Cerpen Cinta Tak Pernah Menari Cerpenku from Sudut pandang aku pencerita menjelaskan peristiwa aneh yang dialaminya. Memiliki jendela untuk rumah tripleksnya, agar dari dalam rumah ia bisa menatap keindahan bulan dan senyuman matahari. 2 sinopsis rumah tanpa jendela. Buku Paket Sma Kelas Xi/2 Sinopsis Rumah Tanpa Februari 2020 1619 100 4 1 + Laporkan Emir Mahira, Dwi Tasya, Raffi Ahmad, Ingrid Lalu Diadaptasi Menjadi Film, Lalu Dibuatkan Novelnya. Buku Paket Sma Kelas Xi/2 2. Film tersebut diadaptasi dari cerpen “jendela rara” karya asma nadia. Rumah tanpa jendela, sebuah novel kehidupan yang sangat menampar. Sudut pandang aku pencerita menjelaskan peristiwa aneh yang dialaminya. 2 Sinopsis Rumah Tanpa Jendela. Rumah tanpa jendela ini sebelumnya merupakan cerita pendek yang berjudul “jendela rara” yang diterbitkan dalam buku emak ingin naik haji cinta hingga tanah suci yang juga ditulis asma nadia pada tahun 2009. Rara adalah gadis kecil berusia 8 tahun, rara sangat ingin punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di menteng pulo, jakarta. Sayangnya, ia bersama orang tuanya hidup di perkampungan kumuh yang mana setiap rumahnya tidak memiliki jendela. 9 Februari 2020 1619 100 4 1 + Laporkan Konten. Novel rumah tanpa jendela karangan karangan asma nadia b. Kisah dalam film tersebut terinspirasi dari model biner dalam dongeng moral berjudul the prince and the pauper karya mark twain. The house without a window With Emir Mahira, Dwi Tasya, Raffi Ahmad, Ingrid Widjanarko. rating details 308 ratings 33 reviews. Memiliki jendela untuk rumah tripleksnya, agar dari dalam rumah ia bisa menatap keindahan bulan dan senyuman matahari. Rara adalah gadis kecil berusia 8 tahun, rara sangat ingin punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di menteng pulo, jakarta. Cerpen, Lalu Diadaptasi Menjadi Film, Lalu Dibuatkan Novelnya. Mbok, rara's ailing grandmother and her father, raga, do not have enough money to buy the window. Film tersebut diadaptasi dari cerpen “jendela rara” karya asma nadia. Dikembangkan dari cerpen jendela rara karya asma nadia. ZPlwpp.